Jumat, 28 Maret 2025

Ogoh-ogoh Banjar Tainsiat: Sing Main-Main atau Sing Pragat-Pragat?

Semarak hari Pengerupukan dalam menyambut Hari Raya Nyepi 2025 (Tahun Baru Saka 1947) diwarnai berbagai kejadian. Mulai dari ogoh-ogoh yang terbakar hingga ogoh-ogoh yang baru kelar pada dini hari. 

Tainsiat dan Ogoh-Ogoh yang Kehilangan Magisnya

Sekee Teruna Banjar Tainsiat, Denpasar, selama ini dikenal sebagai salah satu pusat kreativitas ogoh-ogoh yang selalu dinantikan oleh masyarakat Bali. Setiap tahun, hasil karya mereka menjadi sorotan, bukan hanya karena detail artistiknya, tetapi juga karena inovasi seperti kombinasi teknologi mesin serta kekuatan narasi yang dihadirkan dalam setiap bentuk raksasa simbolis itu.

Namun, tahun ini, sesuatu yang tak biasa terjadi. Alih-alih mendapat pujian seperti tahun-tahun sebelumnya, Tainsiat justru menuai kritik tajam. Penyebabnya? Keterlambatan dalam pengerjaan ogoh-ogoh yang membuat pentas mereka baru berlangsung pada dini hari pukul 03.00 — saat parade utama telah usai. Tentu hal itu sudah melewati waktu pengerupukan dan sudah menjelang hari Nyepi.


Sebagai salah satu ikon dalam dunia ogoh-ogoh Denpasar, ekspektasi terhadap Banjar Tainsiat selalu tinggi. Warga dan pecinta seni rupa ogoh-ogoh menanti dengan penuh antusiasme bagaimana mereka akan menghadirkan karya yang lebih spektakuler dari tahun sebelumnya. Namun, tahun ini, ekspektasi tersebut berbanding terbalik dengan kenyataan. Ogoh-ogoh mereka tidak hanya terlambat, tetapi juga dinilai kurang maksimal dari segi kualitas. Rasa terburu-buru terlihat jelas, seolah karya yang dihasilkan bukanlah sesuatu yang telah direncanakan matang, melainkan sekadar diselesaikan agar "ada" atau apang kuala ada. Sehingga beberapa netizen pun memplesetkan motto yang selalu diemban ‘"Sing Main-Main” (Tidak Main-Main) menjadi “Sing Pragat-Pragat” alias (Tidak Kelar-kelar)

Keterlambatan yang Mengurangi Esensi

Keterlambatan dalam pengerjaan ogoh-ogoh memang bukan hal baru. Semua seniman pasti memahami bahwa proses kreatif membutuhkan waktu, dan sering kali ada faktor teknis yang tak terduga. Namun, dalam kasus Tainsiat, keterlambatan ini memiliki konsekuensi besar. Ogoh-ogoh adalah bagian dari perayaan Nyepi yang dirancang untuk dinikmati bersama, di tengah riuhnya masyarakat yang berkumpul di jalan-jalan. Ketika sebuah ogoh-ogoh baru ditampilkan saat suasana telah sepi, esensi dari pertunjukan itu sendiri pun memudar.

Perayaan ogoh-ogoh bukan hanya soal karya seni yang dipajang di jalanan, tetapi juga bagaimana karya tersebut menjadi bagian dari kebersamaan, kebanggaan kolektif, dan pengalaman spiritual masyarakat Bali. Saat Tainsiat baru memamerkan ogoh-ogohnya di dini hari, mereka kehilangan momentum itu. 

Belajar dari ST Suralaga Banjar Wangaya Kelod

Jika Tainsiat mengalami keterlambatan karena kurangnya koordinasi atau kendala teknis, kisah berbeda justru datang dari ST Suralaga Banjar Wangaya Kelod. Sebuah insiden besar menimpa mereka seminggu sebelum Hari Pengerupukan—ogoh-ogoh yang telah mereka kerjakan selama berbulan-bulan terbakar habis tanpa sisa. Sebuah pukulan besar bagi sebuah sekaa teruna, karena bukan hanya tenaga dan waktu yang terbuang, tetapi juga semangat yang bisa saja runtuh.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih menyerah, ST Suralaga mendapatkan dukungan luar biasa dari pemuda banjar lainnya. Bantuan tenaga dan dana dari pemerintah setempat datang, dan dalam waktu hanya 3-4 hari, mereka mampu menyelesaikan kembali ogoh-ogoh mereka. Ini adalah bukti nyata bahwa dengan kerja sama, solidaritas, dan koordinasi yang baik, hambatan sebesar apa pun bisa diatasi.

Kisah ini seharusnya menjadi pelajaran bagi Tainsiat. Sebuah sekaa teruna dengan reputasi sebesar mereka seharusnya memiliki perencanaan yang lebih matang, terutama dalam hal manajemen waktu dan sumber daya. Jika sebuah banjar yang kehilangan ogoh-ogohnya bisa bangkit dalam waktu kurang dari seminggu, mengapa sebuah kelompok dengan pengalaman panjang seperti Tainsiat justru tertinggal?

Refleksi dan Harapan untuk Tainsiat

Kritik yang muncul terhadap Sekaa Teruna Banjar Tainsiat tahun ini bukan sekadar keluhan, tetapi refleksi atas ekspektasi yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun. Keterlambatan dan hasil yang kurang maksimal bukan hanya merugikan mereka sendiri, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi kualitas ogoh-ogoh di masa depan.

Tainsiat perlu melakukan evaluasi mendalam. Mereka harus bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya masalah teknis, atau ada sesuatu yang lebih mendasar dalam sistem kerja mereka? Apakah semangat gotong royong dan kebersamaan yang dulu menjadi kekuatan mereka mulai memudar? Jika Tainsiat ingin kembali menjadi panutan dalam dunia ogoh-ogoh, mereka harus memastikan bahwa tahun depan, mereka kembali hadir sebagai pelopor—bukan sebagai peserta yang tertinggal di belakang.

Sebab, dalam tradisi ogoh-ogoh, bukan hanya hasil akhir yang penting, tetapi juga bagaimana proses itu menjadi bagian dari kebersamaan dan kebanggaan kolektif. Jika tidak ingin kehilangan magisnya, Tainsiat harus belajar dari kesalahan tahun ini dan bangkit lebih kuat untuk masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melali ke Pantai Nunggalan

  Pantai Nunggalan Pantai Nunggalan terletak di ujung selatan Bali, tepatnya di Desa Pecatu, Kuta Selatan. Pantai Nunggalan jadi salah satu ...